Serpihan Hati Sang Muallaf Bag II


  mantap-sayang.jpgBy : Fira Rachmat

Rafid bingung di tatapnya wajah istrinya mencari-cari apakah ia tidak salah dengar. Shafwah hanya tersenyum sambil terus bergelayut di lengan suaminya. Senyumnya tulus pada Rafid dan Rafid semakin tak menentu. Dengan balas tersenyum Rafid mencubit mesra pipi Shafwah. Hayo sayang kamu kok malam ini sangat berbeda. Dan…Rafid mendekatkan hidungnya pada tubuh Shafwah, hari ini kamu harum sekali apa baru beli parfum ya. Tebak Rafid dan memeluk tubuh Shafwah mesra. Ah masak iya saya harum padahal hanya pakai deodorant spray yang sehari-harinya saya pakai kok sayang. Jelas Shafwah memijit pundak Rafid. Kamu pasti lelah sini saya pijit biar tidak lelah lagi ya. Shafwah berguman dalam hatinya awal yang baik. 5menit Rafid menikmati pijitan itu.

Seharian ini sibuk sampai lupa makan. Kamu masak apa hari ini ? tanya Rafid.

Hari ini masak sup ayam dan sambal goreng hati kesukaanmu, mau makan sekarang?

Nanti saja setelah mandi biar segar ya. Jawab Rafid dan berjalan ke kamar. Shafwah segera mempersiapkan makanan ia menghangatkan terlebih dulu sup ayam. Saat di dapur ia bertanya-tanya ragu apakah malam ini harus ia ungkapkan semua? Ada keraguan tapi ia tak mau lagi menunda-nunda semua seperti ini.

Wa..kamu dimana? Suara Rafid memanggilnya.

Iya sayang sebentar lagi ya. Jawabnya tersentak dari lamunan.

Shafwah selesai menghidangkan makanan dan menemani Rafid di meja makan.

Bagaimana anak-anak hari ini apa saja yang mereka lakukan, tanya Rafid mulutnya mengunyah nikmat makanan yang mulai menghangat di meja.

Seperti biasa Latif sering mengusili kakaknya lagi belajar tadi mereka sampai tarik menarik buku gambar dan Laila cepat-cepat menyimpan crayonnya. Mereka sekarang bertambah nakal. Si mba sampai cape membersihkan tempat mereka bermain. Cerita Shafwah pada suaminya. Ia tersenyum bahagia melihat mimic muka Rafid yang menyimak ceritanya. Namanya juga anak-anak jangan di marahi ya kalau tidak begitu bukan anak-anak namanya. Kata Rafid bijak.

Setelah membereskan meja makan Shafwah mencuci piring ia sengaja berlama-lama di dapur kok tiba-tiba ia jadi lemas begini. Mendengar Rafid menimpali kata-katanya tentang Laila dan Latif hatinya semakin tak menentu. Ah kenapa aku harus mundur? Aku tak boleh lemah begini itu hal yang wajar sebagai seorang bapak. Toh sebentar juga ia akan di karuniai anak lagi. Bisik suara hati yang tak di undang.

Wa…koran hari ini taruh dimana? Tanya Rafid dari ruang tengah.

Ada di situ kok, di bawah meja. Jawab Shafwah.

Mau secangkir teh hangat nggak sayang…

Boleh juga asal kamu mau temani aku nonton ada film yang bagus malam ini.

Shafwah tak menjawab ia menuang air panas dan mencelupkan kantong sariwangi ke gelas Rafid juga ke gelasnya.

Ini teh hangatnya film apa malam ini? Iya deh di temanin asal tidak sampai pagi. Canda Shafwah duduk bersebelahan dengan Rafid.

Seperempat jam Shafwah terus mencari saat yang tepat tapi Rafid ternyata sangat menikmati acara hiburan televisi yang di gemarinya. Ia melirik jam dinding wah jam sebelas sementara mata Shafwah sudah tidak kuat menahan kantuk. Kamu sudah ngantuk sayang? Tanya Rafid. Ah masih 10 watt belum lagi 5 watt canda Shafwah.

Oyah besok aku ada tugas daerah mungkin hanya sehari kata Rafid tiba-tiba. Dan mata shafwah yang memang sudah mulai berat seketika itu membelalak. Ia tak merespon ia hanya sibuk dengan keterkejutannya. Pikirannya mulai bleng. Fid aku ingin membahas sesuatu dan bisa kau Bantu aku menyelesaikannya sayang? Suara Shafwah tercekat di akhir katanya. Apa yang perlu kita bahas sayang? Jawab Rafid tangannya memencet silent di remote TV. Kini ia berpaling menghadap Shafwah pandangan mereka bertemu.

Fid aku sudah mengenal wanita bernama Danila. Kalian sudah lama menjalin hubungan? Dengan hati-hati Shafwah berbicara. Rafid seketika terkejut raut wajahnya berubah warna. Ia tak menjawab lama ia diam sampai Shafwah melanjutkan kalimatnya yang lain.

Jangan menyalahkannya Fid, ia juga terjepit dengan keadaan yang kini menghadangnya. Aku boleh melanjutkan pembicaraan ini? Shafwah tau ia harus benar-benar bersikap bijak menghadapi situasi ini. Rafid tetap membisu mungkin saja hatinya ikut gundah dan Shafwah mengartikan bahwa suaminya memberikan ijin untuk meneruskan kalimatnya.

Dia sudah mengakui kesalahannya yang di inginkan sekarang adalah keterus teranganmu. Jujur saja pertama kali ia datang beberapa bulan yang lalu aku teramat kaget mengetahui pengakuannya. Aku tak pernah memberitahukan semua sampai benar-benar yakin apakah suamiku menghianatiku? Aku juga menanti kejujuran darimu Fid namun kau sepertinya tak punya masalah. Aku sempat berpikir mungkin wanita itu hanya salah alamat mungkin wanita itu pengagum rahasiamu dan masih banyak seribu mungkin yang menari-nari di alam pikirku. Hingga suatu hari ia datang lagi dan aku sadar bahwa ini semua bukanlah mungkin lagi tetapi suatu kenyataan yang mau tidak mau harus aku dan kau juga dia hadapi bersama. Fid ia membawa nyawa yang tak berdosa dalam tubuhnya. Ia membawa kehamilannya padaku aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dan…tiba-tiba Shafwah tak meneruskan kalimatnya. Air hangat yang bening jatuh dari pelupuk matanya ia mengusap dengan satu jarinya berusaha terlihat kuat dan tegar. Rafid meraihnya dalam pelukan merangkulnya dalam-dalam seakan mengatakan maafnya. Shafwah membiarkan kepalanya tersandar di dada suaminya. Ia bisa mendengar degup jantung Rafid kencang memacu dari balik baju kaosnya. Masih dalam pelukan Rafid ia berkata, aku selalu menyayangimu dan akan selalu seperti itu. Aku tau kau juga tersiksa selama ini tapi kita tak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Maafkan aku sayang ,tiba-tiba Rafid bersuara. Shafwah melepaskan pelukannya ia memandang wajah Rafid, aku sudah memafkan semuanya. Anggaplah ini ujian kita aku percaya ada hikmah yang tersembunyi di balik ini semua. Skali lagi Rafid merengkuhnya dalam pelukan. Dibiarkannya keheningan itu sejenak menyatukan hati mereka.

Minggu yang cerah adalah hari dimana Rafid dan Nila mengikat janji di hadapan penghulu di saksikan oleh kerabat dekat keluarga. Shafwah duduk diantara mereka. Tubuh Nila yang tak lagi langsing di balut kebaya putih ia kelihatan pucat riasan make up tak mampu menutupinya. Dengan lantang Rafid mengucapkan saya terima nikahnya Danila binti Harun dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai 1juta rupiah di bayar tunai. Sah ! kini Nila dan Rafid sah sebagai suami istri. Setelah selesai para kerabat keluarga makan bersama siang itu. Nila dan Rafid tak seperti sepasang pengantin mereka terlihat kaku. Shafwah menyadari situasi tersebut akhirnya ia minta pamit pada orangtua Nila. Ia menemui Rafid dan Nila juga. Fid , Nila aku pulang dulu nanti anak-anak mencariku. Selamat atas pernikahan kalian. Kata Shafwah. Mba terimakasih banyak atas pengertiannya. Aku tak tau harus bilang apa lagi. Hush kamu tak perlu berkata apa-apa Nila ini sudah seharusnya terjadi sekarang yang terpenting rawat kandunganmu dengan baik dan untuk beberapa hari ini Rafid akan menemanimu iya kan Fid. Kata Shafwah kemudian. Rafid diam sejenak. Tolong jaga anak-anak kalau ada apa-apa beritahu aku. Saat Shafwah hendak meninggalkan mereka Rafid hanya berkata itu.

Dinginnya udara malam tak ia hiraukan angin malam itu bertiup kencang melambaikan daster yang Shafwah kenakan. Pikirannya terpaku pada suaminya. Aku sudah bertekad tak akan memikirkan atau membiarkan rasa sakit ini bersarang di hatiku. Tidak ! aku harus bisa. Toh aku yang meminta mereka menikah aku harus konsekwen pada kata-kataku. Shafwah berjalan ke dalam rumahnya ia membiarkan kakinya membawa kemana sementara pikirannya tak jua tenang. Ia berhenti di depan kamar mandi mendorong pintu tangannya memutar keran, air deras memancar kemudian dibasahi kedua telapak tangannya berkumur dan membilas wajahnya dari dalam lubuk hatinya mengucap kalimat Nawaitul Wudlu A liraf’il Hadatsil Ashghari Fardlan Lillahi Ta’ala. Sekejap ia merasakan sejuk air yang membasahi merasuk hingga ke dalam hatinya. Kakinya melangkah ke dalam kamar tidurnya di hempaskannya sajadah kemudian mengenakan mukenahnya kini ia berdiri di atas sajadah sambil bertakbiratul ikhram ia mulai khusuk dalam sholat malamnya. Penuh kekushukan ia berdoa dan menyerahkan segala kegundahan hatinya pada Sang Pencipta. Menyambungnya dengan zikir sampai akhirnya ia tertidur di atas sajadah.

Di pagi harinya ia mulai dengan senyum dan memantapkan hatinya. Yah begitulah seharusnya Wa…hadapi hari-harimu dengan ceria ingatlah anak-anakmu tetapkan hatimu Rafid dan Nila adalah bagian dari hidup dan kehidupan. Setelah sholat subuh tadi ia seakan kembali lahir menjadi manusia baru. Kini di temani mba ia memasak dan bernyanyi kecil. Hanya ia sendiri yang bisa menghibur hatinya dan ia berjanji saat mulai goyah ia yakin ini hanya sebagian atau secuil dari realita hidup yang harus dan mampu ia atasi. Hingga malam menjelang Shafwah menikmati bersama anak-anaknya dengan canda dan tawa. Kala malam tiba ia lebih banyak merenung bukan hanya ia yang menghadapi masalah hidup seperti ini beribu bahkan tak terhitung jumlahnya diluar sana berbagai macam penderitaan yang manusia hadapi. Entah itu masalah kemiskinan kelaparan penyiksaan perang dan lain lain. Ini hanya secuil yang kau hadapi Shafwah. Ya mengapa aku harus membebani hidup dengan apa yang telah aku sendiri lakukan. Setidaknya Rafid masih mempunyai tanggung jawabnya ia masih memikirkan anak-anaknya. Dan hatinya juga masih milik Rafid begitupun sebaliknya Rafid. Yah aku tak boleh menang sendiri. Aku harus melihat sisi baik dari masalah ini. Bukan sebaliknya.

Rafid tetap mengunjungi dengan rutin Shafwah dan anak-anaknya, pada saat Rafid di rumah ia mengurus dengan baik semua seperti biasa seorang istri melayani suaminya. Beberapa kali ia tepis rasa sedih saat Rafid kembali ke pelukan madunya. Tidak ia pungkiri hal itu namun selalu dengan sholatlah dan berbesar hati ia kembali ingat pada Tuhan yang dari atas sana memantau seakan berkata Ya Shafwah kau harus bisa menahan semua ujianKu ini. Shafwah yakin dan percaya Allah tak akan memberinya ujian jika ia tak mampu untuk memikulnya. Menata hatinya hari demi hari memandang hal jauh kedepan lebih indah hidup itu bila di hiasi dengan hati yang ikhlas. Kunci ikhlas terus ia gali dan gali tanpa rasa bosan. Shafwah tak pernah dan tak mau lagi di rundung duka yang tak pasti. Hari esok adalah hari yang akan lebih baik dari hari ini. Aku hidup dan bernafas sampai hari ini sudah suatu hal yang amat berarti. Kata itu ia selipkan merajut hari harinya membesarkan anak-anaknya mencurahkan kasih sayangnya pada suami. Adakah hal yang harus terus menerus ia sesali? Sementara kita hidup di dunia fana ini hanya sebentar. Haruskah diisi dengan ratapan dan rintihan yang hanya menyia-nyiakan waktu memporak porandakan mahligai hati yang jika dibiarkan akan membawa penyakit tentu tidak buat Shafwah ia adalah istri dan ibu juga hanya manusia biasa yang tak terlepas dari segala macam aspek kehidupan. Hatinya hanya terbuat dari daging dan darah yang di pompa oleh berbagai macam rasa sakit, marah cemburu adalah permainan hawa nafsu. Namun memang tak mudah tak segampang kita bilang begini dan begitu. Pelaksanannya teramat sukar namun Shafwah percaya asal ada niat pasti ada jalannya. Biarkan semua berjalan sesuai aturan Sang Khalik kita adalah insan-insan yang harus tahan uji. Sekali lagi bagi Shafwah tak ada yang mustahil bagi Allah dan ia percaya itu.

Sebagai seorang muslimah Shafwah hanya takut pada Allah hanya mencintai Allah lebih dari hidupnya.ujian ini ia terima sebagai bukti bahwa ia tulus dan ikhlas berjalan di jalan Allah. Ia dipilih memikul ujian ini sampai dimana batas dan ketulusannya pada hukum Allah toh bukan hanya ia sendiri wanita yang menghadapi hidup seperti ini. Itulah Shafwah wanita yang membuktikan bahwa semua masalah yang terjadi terselip hikmah didalamnya. Berpegang pada kekuasaan Allah saat menghadapi masalah lebih ringan dan teruslah berpegang niscaya hidup akan lebih indah.

 

S E L E S A I

 

Berani hidup harus berani menghadapi masalah jangan takut dan jangan gentar terhadap masalah yang datang. Hadapi dengan benar dan bertawakkal karena setiap masalah sudah di ukur Allah sehingga sesuai dengan kemampuan kita.

 

 

 

Published in: on 4 September 2007 at 2:19 pm  Comments (6)  

The URI to TrackBack this entry is: https://fira.wordpress.com/2007/09/04/serpiahn-hati-sang-muallaf-bag-ii/trackback/

RSS feed for comments on this post.

6 KomentarTinggalkan komentar

  1. dunno what to say
    takut kualat

  2. hmm… sampai termangu mbacanya… bagus bgt 🙂

    btw, salam kenal bu/mbak… makasih telah mengunjungi blog saya, sekalian minta ijin ngelink blognya ya..

  3. Aduh aku nengokin aja

    Sibuuuuk banget

  4. Aku datang sayang…
    Bawa oleh-oleh dari Bali

    “Berani hidup harus berani menghadapi masalah jangan takut dan jangan gentar terhadap masalah yang datang. Hadapi dengan benar dan bertawakkal karena setiap masalah sudah di ukur Allah sehingga sesuai dengan kemampuan kita.”

    Wah…benar sekali !

  5. ehm… semoga via diberi ketabahan dan kekuatan… untuk segala macam masalah yg hadir dalam hidup.. 🙂

  6. lanjutin yaaa….


Tinggalkan Balasan ke via Batalkan balasan